Senin, November 26, 2007

DISLEKSIA (KESULITAN MEMBACA)
Belum dapat membaca bukan berarti anak tidak dapat membaca , berilah mereka pengajaran yang berbeda
Oleh: Pak wahyu

Di setiap sekolah sering kita jumpai sebagian besar anak Sekolah yang kemampuan membaca, menulis dan mengejanya berada di bawah nilai rata-rata. Apalagi di setiap Sekolah-sekolah pavorit telah menggunakan peraturan dan persyaratan bahwa setiap anak yang baru mau masuk sekolah dasar kelas satu harus bisa membaca dan menulis. Hal tersebut sangatlah memberatkan bagi orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke Sekolah tersebut. Belum lagi ketika anak sudah mulai belajar di sekolah, kesulitan yang memang sudah dimiliki oleh anak akan mempengaruhinya secara psikologis. Anak akan merasa tertekan dan stress, motivasinya menurun dan percaya dirinya berkurang. begitu juga prestasi akademiknya. Walaupun anak pada mata pelajaran tertentu tidak mengalami masalah, tetapi kesulitan yang dimiliki anak akan menghambat prestasi belajarnya.
Ketika menjelang pembagian penerimaan raport, mungkin sebagian orang tua akan terkejut tatkala melihat nilai rapor anaknya jelek. Kemudian orang tua tersebut menanyakan kepada gurunya, “Kenapa anakku nilai rapornya jelek?”. Orang tua pun mendapat jawaban yang tidak enak didengar, bahwa anaknya itu malas belajar. Para orang tua dan guru tidak menyadari bahwa salah satu penyebab kenapa nilai rapor anak tersebut jelek? “Dikarenakan anaknya mengalami kesulitan membaca (disleksia).”
Contoh kasus di atas, mungkin sering kita jumpai dan kita dengar pada saat penerimaan raport tiba . Oleh karena itu, kita dituntut untuk mengetahui dan memahami seberapa jauh kita mengenal anak penyandang disleksia tersebut, agar dapat membantu kita untuk memecahkan masalah dan memberikan intervensi dan treatment yang tepat kepada anak-anak yang memiliki kesulitan seperti di atas.

Apa sebenarnya Disleksia?
Istilah disleksia berasal dri bahasa Yunani kuno, yakni dys: tidak memadai, dan lexis: kata/bahasa. Jadi, disleksia adalah kesulitan belajar yang terjadi karena anak bermasalah dalam mengekpresikan ataupun menerima bahasa lis an maupun tulisan.masalah tersebut tercermin dalam kesulitan anak untuk membaca, mengeja, menulis, berbicara, atau mendengar.

Kenapa Anak Itu tidak mau sekolah…?
Awal bulan pertama duduk di kelas 1 SD, Rendra amat gembira menikmati hari-harinya bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, saat teman-temannya sudah mulai bisa membaca, ia masih bergulat dengan kesulitan yang dihadapinya. “Memikir dulu ini huruf apa, bacanya bagaimana?” paparnya. Saat itu belum ada yang tahu bahwa ia penyandang disleksia.
Pada saat itu, ibunya, Lina teringat cerita tentang anaknya. Setiap pagi menjelang berangkat sekolah, ada saja alasan Rendra untuk tidak mau pergi ke sekolah. Ibunya pusing kenapa anaknya tiba-tiba berubah tidak mau berangkat ke Sekolah. “Tetapi, pada siang hari ia senang-senang saja,” kenangnya. Suatu waktu, Lina memergoki anak tunggalnya itu tengah menangis di kamarnya. “ Bu, apakah di dunia ini, hanya aku yang tidak dapat membaca?” Tanya Rendra sambil berurai air mata membasahi pipinya. Mungkin perasaan Rendra dapat juga dirasakan oleh para penyandang disleksia lainnya.
Di tahun 1994 Orton Dyslexia Society mendefinisikan dyslexia sebagai berikut :
“satu diantara beberapa ketidakmampuan belajar, merupakan penyebab utama terjadinya kesulitan berbahasa yaitu kesulitan menguraikan kata tunggal, biasanya menunjukkan ketidak kemampuan dalam memprosesan fonologis. Kesulitan dalam menguraikan kata tunggal ini berkaitan dengan usia dan kemampuan kognitif serta akademik lainnya; itu semua bukan akibat dari ketidakmampuan perkembangan / fase perkembangan secara umum (generalized developmental disability) atau kelemahan penginderaan (sensory impairment). Disleksia ditunjukkan dengan kesulitan yang mencakup bahasa atau disebut juga masalah dalam membaca, dan paling menonjol masalah prestasi dan kemampuan menulis dan mengeja” (Lyon 1995:9)
Jadi, disleksia adalah adanya hambatan/ gangguan dalam perkembangan kemampuan membaca pada anak dalam fase perkembangan. Namun, penyebabnya bukanlah dari tingkat kecerdasan yang rendah, gangguan penglihatan/ pendengaran, gangguan neurologis ataupun kurangnya kesempatan berlatih.
Seperti pada kesulitan berhitung (diskalkulia), kesulitan menulis ekspresif (disgrafia), masalah penyandang disleksia adalah sistimatika pemrosesan di dalam otak. Tak heran, seringkali ada perbedaan nyata antara nilai IQ mereka dengan nilai prestasi akademik di sekolah.
Menurut Dr. Ika Widyawati SpKJ mengatakan bahwa ada tiga gejala pokok yang nampak pada anak penyandang disleksia: 1. Tidak teliti dalam membaca; 2. Membaca dengan lambat; dan 3. Pemahaman yang buruk dalam membaca. Anak disleksia kira-kira mencapai jumlah 10% dari anak usia sekolah. Perbandingannya pada anak laki-laki dan perempuan sebesar 3:1.
Hal senada juga di kemukakan oleh para ahli yang mengatakan bahwa: gejala – gejala yang mendasar yang sering dikaitkan dengan kondisi ini, meliputi:
· kesulitan berbicara dan bahasa (terutama terjadi pada anak-anak ).
· memory verbal jangka pendek yang lemah.
· kesulitan dalam menyusun dan mengurutkan.
· grogi (clumsiness).
· kurang konsisten dalam pilihan. (huruf, suku kata, kata maupun kalimat).
· frekuensi dan itensitas penggunaan huruf terbalik-balik.
(b untuk d, p untuk q).
· kefasihah verbal yang rendah.
Gejala – gejala di atas, juga sering ditemukan pada anak-anak yang tidak mempunyai kesulitan membaca dan mereka yang tidak dianggap sebagai kesulitan membaca. Lebih jauh lagi, pendapat di atas menjadi sebuah awal beberapa perdebatan apakah gejala-gejala itu menjadi penyebab atau akibat dari kegagalan membaca.
Dengan demikian, gejala-gejala yang sudah tampak, tidak cukup untuk membantu praktisi dalam membuat suatu diagnosis, karena memerlukan suatu analisis-analisis yang lebih intensif dan kompeten terhadap masalah ini.
Kesulitan membaca itu bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang dapat mengeja tapi tidak mampu membaca dalam kata. Misalny a, sakit dibaca saku, putih dibaca putu. Ada juga yang membaca terbalik, topi dibaca ipot, minum dibaca munim. Sulit membedakan huruf b dan d, g dan p, khususnya huruf kecil.
Selain dari faktor bahasa, pada anak disleksia seringkali terdapat gangguan perkembangan lain. Misalnya, konsentrasi mudah teralih, kontrol diri yang kurang, impulsive. Contoh konkretnya, terkadang anak mengalami kesulitan melempar-tangkap bola atau mengikatkan tali sepatu. Kesemuanya itu merupakan manifestasi dari kedisleksiaannya tersebut.
Bila tak segera mendapat penanganan yang baik, kesulitan belajar bisa memberikan dampak negatif bagi anak. Label bodoh, pemalas, dan ceroboh dapat membuat mereka terganggu secara emosional dan dapat mempengaruhi perilaku dalam bertindak. Gangguan ini bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.

Berilah mereka pengajaran yang berbeda
Anak-anak disleksia bukanlah mereka yang penyandang terbelakangan mental (Tunagrahita) atau mereka yang rendah tingkat kecerdasannya. Rendra, misalnya, memiliki IQ 126. malangnya, di tengah sistem pendidikan yang memberlakukan semua siswa secara seragam, tanpa kompromi, akan mematikan potensi anak. Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Sejarah telah membuktikan bahwa banyak penyandang disleksia yang akhirnya berhasil. Mereka adalah para tokoh yang sangat berpengaruh tehadap kelangsungan hidup orang banyak. Contohnya: Inventor Thomas Alva Edison, Agatha Christie, Lee Kuan Yew, dll.
Untuk itu, anak-anak yang mengalami kesulitan belajar disarankan untuk bersekolah di sekolah umum yang menggunakan pendekatan ‘active learning and inklusive’. Pendekatan ini berpendapat bahwa kesalahan terpusat pada sistem pendidikan yang ada dan bukan pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Jika anak tidak dapat belajar dengan baik maka bukan salah anak tersebut, melainkan kesalahan sistem yang ada.
Oleh sebab itu kita harus merubah sistem yang ada, sehingga akan menciptakan hubungan yang sejajar antara anak normal dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Sistem pendidikan ini digambarkan “sebuah meja yang memiliki lubang berbagai bentuk, maka balok-balok (anak) tadi dapat masuk sesuai dengan lubang yang ada”. Kelebihan pada pendekatan pendidikan inklusi ini adalah:
@ Mengakui perbedaan
@ Memanfaatkan sumber daya yang ada
@ Menerima semua siswa
@ Pendidikan bukan hak istimewa untuk beberapa anak melainkan semua
@ Layanan diberikan pada semua anak
@ Memberikan layana n pendidikan agar mempunyai layanan yang baik
@ Mengakomodasi semua anak (memberikan kesempatan yang sama pada semua anak)
@ Pemecahan masalah semua system yang menunjang pendidikan anak
@ Mengubah kurikulum yang digunakan menjadi fleksibel (kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak)
Pendekatan inklusi tumbuh dari apresiasi dan menghargai atas keberagaman (heterogenitas) di sekitar sekolah bukan pada sumber dayanya. Hasil dari pendekatan inklusi ini juga akan lebih fleksibel, inovatif dan terbuka.
Alternative selain menyekolahkan anak di sekolah dengan pendekatan inklusi, penyandang disleksia juga harus dibekali salah satunya yaitu dengan terapi remedial / terapi akademik.

Tidak ada komentar: