Senin, Desember 10, 2007

Mbok Imah benar-benar telah berqurban...
(dari milis Sekolah Mutiara Bunda Cilegon - Kiriman Bapak Lutfi)
Ia biasa dipanggil Mbok Imah. Nama lengkapnya tidak banyak yang tahu, termasuk diriku. Mungkin Halimah, mungkin juga Salimah, Muslimah atau yang lain. Fisiknya tidak sebanding dengan usianya yang sudah tergolong uzur. Di atas 70-an.
Di tengah kehidupan yang individualistis sekarang ini, ia masuk dalam kelompok "makhluk langka". Disamping tinggal beberapa gelintir orang yang seusia dengannya, Mbok Imah adalah pekerja keras. Ia memiliki hobi suka membantu orang-orang dikampungku yang tengah punya hajatan seperti mantenan atau hajatan lain. Apapun ia kerjakan, menyapu lantai, mengisi bak mandi, membersihkan barang-barang pecah-belah yang kotor, menjemur kayu bakar, dan lain-lain. Nyaris tidak ada jeda waktu untuk istirahat bagi dirinya. Padahal secara fisik orang seusia dia seharusnya banyak beristirahat.
Kalau dikampung tidak ada yang sedang punya hajatan, ia sigap melakukan apa saja. Mulai dari membersihkan halaman masjid sampai membersihkan gang kampung pada sore hari manakala tidak hujan.
Semenjak ditinggal suaminya lebih dari lima belas tahun lalu, Mbok Imah hidup sebatang kara di sebuah gubuk tua di tepi sawah Pak Lurah. Menurut cerita orang, ia bukannya tidak punya anak. Kedua anak laki-lakinya, kata tetanggaku, merantau ke Jakarta selepas tamat Sekolah Dasar. Namun hingga Mbok Imah setua sekarang, kedua anaknya tidak pernah mudik. Entah apa yang terjadi kepada mereka berdua. Mbok Imah sendiri tampak selalu pasrah kepada Yang Maha Mengatur Kehidupan ini kalau diajak bercerita tentang kedua anaknya tersebut.
Selepas Shalat Idul Adha.........
Selepas Shalat Idul Adha di masjid, Pak Kyai langsung menuju halaman terbuka di samping kanan masjid. Aku termasuk rombongan pertama yang tibadi lokasi bersama Pak Kyai. Ketika sampai di tempat yang kutuju, Mbok Imah terlihat tengah membersihkan pelataran tersebut dari sampah-sampah yang berserakan. Satu per satu jamaah mulai tiba dipelataran yang tidak seberapa luas itu.
Seperti biasa, Pak Kyai ditunggu warga sekampung untuk memimpin acara penyembelihan hewan qurban. Tahun ini ada tujuh ekor kambing dan satu ekor sapi yang hendak disembelih. Seperti biasa, sebelum memimpin acara penyembelihan, Pak Kyai pun meraih mikropon yang telah disediakan panitia dan mengumumkan satu per satu nama-nama warga yang berqurban. Ketika mulai disebut nama-namanya, saya tidak terkejut karena nama-nama yang berqurban kambing itu adalah mereka yang masuk dalam kelompok aghniya (Kaya) di kampungku, tentu saja namaku juga disebut karena tahun ini aku ikut berkontribusi dengan satu ekor kambing. Ada yang berbeda pada mimik Pak Kyai sesaat sebelum menyebutkan siapa nama warga yang berqurban dengan seekor sapi. Aku melihat Pak Kyai menitikkan air mata, dan dengan suara bergetar ia menyebutkan nama MBOK IMAH! Subhanallah! Beberapa saat diriku ini, juga sebagian besar warga kampung yang hadir, tidak percaya dengan yang baru saja disebutkan Pak Kyai. Mbok Imah berqurban? Seekor sapi? Dari mana duwit yang ia belanjakan untuk membeli hewan qurban tersebut? Sejuta pertanyaan menggelayut di hatiku. Saya yakin semua warga kampungku, kecuali Mbok Imah sendiri tentunya, juga terus bertanya-tanya bagaimana bisa Mbok Imah membeli seekor sapi untuk qurban? Kalkulasi yang Salah.
Esok harinya, selepas shalat subuh di masjid aku sengaja mencegat Mbok Imah. Rasa penasaranku harus terjawab saat ini langsung dari sumbernya,yakni Mbok Imah sendiri. Demikian aku bertekad.Ketika ditanya darimana uang yang ia belanjakan untuk berqurban, Mbok Imah malah berujar "Mboten usah dipun penggalih, to Gus. Ingkang sampun kelampahan nggih sampun. (Nggak usah dipikirkan to Gus. Yang sudah berlalu biarlah berlalu)" demikian pesan Mbok Imah dengan muka penuh senyum mengembang. Senyuman yang membuat diriku malu. Ya, malu untuk melanjutkanpertanyaan kepada Mbok Imah.Hari ini aku telah mendapatkan pelajaran sangat berharga dari seorang maha guru spiritual yang tidak pernah aku temui di bangku sekolah. Mbok Imah telah membukakan mata hatiku bahwa kalkulasiku dalam berqurban selama ini ternyata salah. Kalimat "Mbok Imah berqurban dengan seekor sapi" terus terngiang-ngiang ditelingaku, menusuk ke jantung kalbuku. Memporak-porandakan logika matematikaku. Betapa tidak. Bagi seorang karyawan seperti diriku mungkin harga seekor sapi hanyalah sepersekian dari Bonus Akhir Tahun yang aku dapatkan dari perusahaan dimana diriku bekerja saat ini. Ya, jauh lebih kecil dari THR yang aku terima setiap menjelang Hari Raya. Sementara bagi sosok seperti Mbok Imah? Jangankan menerima THR, gaji pun tidak pernah ia terima kecuali sekedar 'uang terima kasih' ala kadarnya dari sokhibul bait sehabis Mbok Imah membantu usai hajatan. Namun Mbok Imah begitu mudahnya berqurban dengan seekor sapi. Saya pun yakin seyakin-yakinnya bahwa harga sapi yang Mbok Imah beli untuk qurban jauh lebih mahal dari harga gubuk tua yang ia jadikan tempat berteduh selama ini!
Mbok Imah benar-benar telah berqurban. Astaghfirullah

Tidak ada komentar: